Jumat, 17 September 2010

Kisah Kantong Sutra

Hakim Abu Bakar Muhammad bin Abdul Baqi bin Muhammad Al-Bazzaz Al-Anshari mengisahkan.
Aku tinggal dekat Mekah Al-Mukarramah. Suatu hari aku kelaparan, tidak ada sepotong makanan yang dapat mengganjal perutku, sampai akhirnya kutemukan sebuah kantong sutra berhias rumbai-rumbai sutra.
Aku mengambil dan membawa pulang kantong itu. Setelah aku buka, ternyata isinya adalah seuntai kalung mutiara yang sangat indah tiada tara. Ketika keluar dari rumah, aku mendengar ada seorang tua yang
membawa-bawa kantong berisi uang 500 dinar berseru, “Akan kuberikan uang ini bagi siapa saja yang mengembalikan kepadaku kantong yang berisi kalung mutiara.”

Mendengar itu aku bergumam, “Aku sedang kekurangan dan kelaparan, akan kuambil dinar emas itu dan akan kukembalikan kantong miliknya.”
Aku kemudian berkata kepada orang tua itu, “Kemari, kek!” Aku mengajaknya ke rumah, lalu dia menyampaikan padaku semua ciri-ciri kantong, rumbai-rumbai, dan kalung mutiara lengkap dengan jenis benang yang digunakan untuk merangkainya. Aku mengeluarkan kantong itu dan memberikannya. Sesuai janjinya, dia kemudian memberikan lima ratus dinar, tapi aku tolak, “Aku harus mengembalikan kantong itu kepada Anda tanpa meminta balas jasa sepeserpun.”
Namun, dia berkata, “Kamu harus mengambilnya,” ia terus mendesakku, tapi tetap aku tolak, sampai dia pergi meninggalkanku. Tak lama berselang, aku meninggalkan Mekah dengan menaiki sebuah kapal. Di tengah pelayaran, kapal yang kutumpangi bocor dan tenggelam. Banyak penumpang dan harta bawaan yang tenggelam, sedangkan aku selamat dengan berpegangan pada sebuah potongan kayu kapal. Arus laut
menghanyutkanku entah kemana.
Singkat cerita, aku terdampar di sebuah pulau yang ditinggali oleh sekelompok orang. Tak tahu harus  kemana, aku masuk ke sebuah masjid  dan membaca al-Qur’an. Ternyata, banyak orang yang mendengar
bacaanku. Mereka berkumpul di sekelilingku dan berkata, “Ajarkan kami al-Quran.” Sejak saat itu aku mengajarkan al-Qur’an kepada mereka sampai aku berhasil mengumpulkan banyak uang sebagai hasil jerih payahku mengajarkan al-Qur’an.

Waktu berlalu, sampai suatu saat ketika aku sedang membaca lembaran mushaf Qur’an di masjid, beberapa orang bertanya kepadaku, “Apakah kamu dapat menulis?” “Ya,” jawabku. “Tolong ajari kami tulis menulis,” kata mereka.
Tak lama berselang, mereka kembali bersama anak-anak dan para pemuda untuk kuajari tulis-menulis. Sekali lagi aku berhasil mendapatkan uang banyak sebagai hasil jerih payahku mengajar mereka tulis-menulis. Waktu berlalu, ketika pada suatu hari orang-orang datang kepadaku menyampaikan sesuatu, “Ada seorang gadis yatim yang kaya tinggal di sini, kami memintamu untuk menikahinya,” ujar mereka. Aku terkejut mendengar permintaan mereka. Aku menolaknya, tetapi mereka terus mendesakku, sampai aku tak kuasa menolak permintaan mereka.
Ketika dipertemukan dengan gadis yatim itu, aku terkejut, karena gadis itu mengenakan kalung yang dulu pernah kutemukan dan telah kukembalikan kepada pemiliknya. Mataku tak berkedip melihat kalung di lehernya itu, sampai orang-orang di sekelilingku berkata, “Wahai Syaikh, mengapa kau hancurkan hati gadis itu dengan lebih memperhatikan kalung di lehernya dan mengabaikannya.”

Aku ceritakan kisahku dan kalung itu dari awal. Selesai mendengar ceritaku, tiba-tiba mereka menyerukan takbir dan tahlil, sampai hampir seluruh penduduk pulau itu mengetahui apa yang terjadi. Dengan heran aku bertanya, “Apa gerangan yang terjadi?”

Salah seorang dari mereka berkata, “Kakek tua yang menerima kalungnya darimu adalah ayah gadis ini. Dulu, dia pernah berdoa, ‘Aku tidak pernah menemukan seorang muslim seperti pemuda yang mengembalikan kalungku ini. Oleh karena itu, ya Allah, pertemukan aku dengannya untuk aku jodohkan dengan anakku.’”
Kini, aku telah menikah dengan gadis yatim itu sampai kami dikaruniai dua orang anak. Beberapa saat kemudian, istriku wafat, meninggalkan kalung mutiara dan dua orang anak.
Setelah anakku meninggal, tinggallah aku dengan kalung bersejarah itu. Kalung itu lalu kujual seharga 1000 dinar dan kulanjutkan hidupku dengan hartaku itu.

Kisah ini tentang wara’ Dinukil dari Al-Mukhtar min Faraid An-Nuqul wa Al-Akhbar,jilid 3, hal. 63-67 dan Thabaqat Al-Hanabilah, jilid 1, hal. 196.

Dicomot anpa ijin dari:

http://rumahbelajarku.wordpress.com/2010/06/15/kisah-kantong-sutra/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar