Minggu, 19 September 2010

Hukum Shalat Di Belakang Imam Fajir

Adapun shalat di belakang ahlul ahwa’ dan ahlul bid’ah atau di belakang imam yang fajir maka ada perselisihan di antara ulama’ secara masyhur. Adapun perinciannya bukan di sini tempat untuk memaparkannya. Akan tetapi sebagai pertengahan di antara pendapat-pendapat tersebut adalah bahwa seseorang tidak diperbolehkan mengangkat imam dari golongan tersebut jika ada kemampuan untuk mengangkat imam selain mereka. Jika tampak suatu kefajiran atau bid’ah maka wajib untuk mencegah dan melarang darinya.

Dan tingkatan minimal dalam mencegah kemungkaran adalah dengan memboikotnya agar ia berhenti dari perbuatan/a/z’r dan bid’ah.

Untuk itulah jumhur ulama’ membedakan antara penyeru kebid’ahan dengan orang yang berbuat bid’ah namun tidak menyeru kepada yang lain. Jika dia sebagai penyeru bid’ah maka berarti dia menampakkan kemungkaran maka sudah selayaknya untuk dicegah. Lain halnya dengan orang yang diam, kedudukannya sebagaimana orang yang melakukan dosa secara tidak terang-terangan, maka ia tidak dicegah dengan cara yang dhahir, sebab maksiat jika disembunyikan maka tidak mendatangkan macinarat meiainKan ternaaap turinya sendiri, akan tetapi jika dia melakukannya secara terang-terangan maka dapat menimbulkan madharat bagi yang lain.

Untuk itulah orang-orang munafik tetap diperlakukan baik secara dhahir, kemudian urusan batinnya diserahkan kepada Allah Ta’ala. Berbeda dengan orang yang menampakkan kekafirannya. Maka apabila dia sebagai penyeru tidak boleh berwala’ kepadanya, mengangkatnya sebagai imam mengambil kesaksian dan riwayatnya. Hal itu dilan-daskan atas dasar mencegah kemungkaran, bukan karena rusaknya shalat atau celaannya terhadap kesaksian dan periwayatannya.

Jika seseorang mampu untuk tidak mengangkat orang yang menampakkan kemungkaran sebagai imam, maka wajib untuk mengerjakannya. Akan tetapi jika orang lain mengangkatnya sebagai imam dan tidak memungkinkan baginya untuk menggantinya dengan yang lain, atau imam tersebut tidak dapat diganti melainkan oleh orang yang lebih jahat dan lebih besar madharatnya daripada kemadharatn yang ditimbulkan imam tersebut, maka tidak boleh mencegah kerusakan yang kecil dengan kerusakan yang lebih besar. Dan tidak boleh mencegah kerusakan yang paling ringan di antara dua kerusakan dengan kerusakan yang lebih besar di antara keduanya. Karena syari’at datang untuk mendatangkan maslahat dan menyempurnakannya,serta menghilangkan mafsadat (kerusakan) dan menguranginya semaksimal mungkin. Maka sebagai konsekuensinya adalah mengambil yang terbaik di antara dua kebaikan jika memang tidak bisa diambil kedua-duanya dan mencegah kerusakan yang lebih besar di antara dua kerusakan jika memang keduanya tidak dapat dihindari secara keseluruhan.

Jika tidak mungkin mencegah imam yang menampakkan kebid’ahan dan fajir melainkan dengan yang lebih rusak, maka tidak boleh mencegah imam tersebut, bahkan hendaknya ia tetap shalat di belakangnya selagi tidak memungkinkan baginya untuk shalat (jama’ah) melainkan di belakangnya. Seperti ketika shalat Jum’at, hari raya dan shalat jama’ah lima waktu, jika memang tidak ada imam selainnya.

Untuk itulah para sahabat juga shalat di belakang Al Hajjaj 1), Al-Mukhtar bin Abi Ubaid Ats-Tsaqafi dan selain keduanya tatkala shalat Jum’at ataupun shalat jama’ah. Sebab kehilangan shalat Jum’at dan shalat jama’ah lebih besar kerusakannya daripada shalat di belakang imam yang fajir. Apalagi jika dengan ia meninggalkan shalat jama’ah tidak dapat merubah kefajiran imam tersebut, maka berarti dia telah meninggalkan maslahat (shalat jama’ah’Pem) tanpa dapat mencegah mafsadat.

Oleh karena itu, orang yang meninggalkan shalatJum’at dan shalat jama’ah secara mutlak dengan alasan karena imamnya, divonis oleh para ulama’ salaf dan para imam ulama’ sebagai ahli bid’ah.

Namun, jika memungkinkan bagi seseorang untuk mengerjakan shalat Jum’at dan shalat jama’ah di belakang imam yang baik, jelas hal ini lebih utama untuk dikerjakan daripada shalat di belakang imam yang fajir. Dalam kondisi seperti ini, hukum bagi orang yang shalat di belakang imam fajir tanpa udzur ada beberapa ijtihad ulama’. Di antara mereka ber-pendapat, “Dia harus mengulang shalatnya, karena dia telah mengerjakan apa yang tidak disyari’atkan, yang mana dia meninggalkan kewajiban untuk mencegah kemungkaran dan shalat di belakang imam yang fajir, maka shalat di belakangnya adalah dilarang sehingga dia harus mengulanginya.”

Ada pula yang berpendapat,”Dia tidak perlu mengulang shalatnya.” Karena shalatnya sendiri tetap sah, sedangkan perkara dia meninggalkan ke-wajiban mencegah kemungkaran adalah perkara lain yang terpisah dari urusan shalat . Dia bagaikan seseorang yang berjual beli ketika ada panggilan shalat Jum’at.

Namun jika tidak memungkinkan baginya untuk shalat melainkan di belakang imam yang fajir seperti ruku shalat Jum’at, maka ia tidak perlu mengulang shalatnya. Bahkan jika dia mengulanginya maka hal itu adalah perbuatan ahli bid’ah.

Beberapa fuqaha’ menyangka bahwa ketika dikatakan “Sesungguhnya shalat di belakang orang fasik tidak sah” itu berarti dia harus mengulang shalat jum’atnya ketika ia shalat di belakang orang fasik dan jika tidak mengulangi dianggap belum shalat .

Padahal tidak demikian maksudnya. Tetapi yang menjadi pembicaraan di sini adalah tentang larangan bagi seseorang untuk shalat di belakangnya, namun apabila ia diperintah untuk shalat di belakangnya, pendapat yang benar adalah tidak perlu mengulang shalatnya, sebagaimana yang telah kami kemukakan di atas bahwa seorang hamba tidak diperintahkan untuk shalat dua kali.

Adapun shalat di belakang ahlul ahwa’ yang melakukan bid’ah yang dianggap menyebabkan kekafiran, maka para ulama’ berbeda pendapat dalam hal shalat Jum’at. Barangsiapa mengatakan “dia kafir”, maka dia harus mengulang shalatnya, sebab tidak boleh shalat di belakang orang kafir. Tetapi persoala1 ini berkaitan dengan takfir (vonis kafir) terhadap ahlul ahwa’ , sedangkan pai a ulama’ banyak berselisih dalam hal ini. Diriwayatkan bahwa Imam Malik memiliki dua pendapat, Imam Syafi’i memiliki dua pendapat pula, Imam Ahmad demikian pula, termasuk juga ahli kalam, mereka mengatakan bahwa Al-Asy’ari memiliki dua pendapat . Pada umumnya masing-masing madzhab memberikan perinciannya.

Pada pokoknya bahwa perkataan kafir terkadangdimaksudkan untuk pengkafiran pelakunya secara ithlaa (umum). Maka jika dikatakan “barangsiapa mengatakan begini dia kafir” akan tetapi secara mu’ayyan (orang tertentu) yang mengatakannya tidak boleh dihukumi kafir sebelum ditegakkan hujjah atasnya. Hal ini sebagaimana yang berlaku tentang ayat-ayat ancaman, Allah la’ala. berfirman :

“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (An-Nisa’: 10)

Ayat di atas dan juga ayat ancaman yang semi-salnya harus diyakini kebenarannya, akan tetapi untuk menghukumi individu tertentu tidak bisa kita vonis bahwa ia pasti akan mendapatkan ancaman tersebut, dan tidak boleh kita memastikan ahli kiblat (muslim) dengan neraka, sekalipun boleh mengkaitkan antara perbuatannya dengan ancaman.

Karena bisa jadi persyaratannya tidak terpenuhi, atau adanya penghalang (yang menyebabkan dia terhindar dari apa yang diancamkan atas dirinya’ tau mungkin dia belum tahu bahwa hal itu haram, atau bisa jadi nantinya dia akan bertaubat dari hal yang haram, atau bisa jadi pula dia memiliki kebaikan yang agung sehingga menghapus dosa yang telah dia kerjakan. Bisa jadi pula (kesabarannya dalam menjalani) musibah telah menghapuskan kesalahan-kesalahannya, atau dia nantinya akan mendapatkan syafa’at. Begitulah, ucapan yang dapat menyebabkan pelakunya menjadi kafir, terkadang dalil untuk mengetahui kebenaran tersebut belum sampai kepada seseorang. Atau kalaupun sudah sampai, belum jelas keshahihannya baginya. Atau sulit baginya untuk memahaminya dan terkadang pula ada syubhat yang dengannya Allah memberikan udzur (dispensasi) kepadanya. Maka barangsiapa di antara orang-orang yang beriman dengan sungguh-sungguh dan tulus mencari kebenaran kemudian tersalah, maka sesungguhnya Allah Elakan mengampuni dirinya apapun kesalahannya, baik dalam persoalan wawasan (pendapat ) maupun berupa amal. Inilah pendapat para sahabat Nabi jfg, keluarganya dan jumhur imam-imam kaum muslimin.

Qa’idah Ahlus Sunnah wal Jama’ah
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah

1) Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Abdullah bin Umar
Radhiyalhhu ‘Anhuma bahwa beliau shalat di belakang Al-Hajjaj
bin Yusuf Ats-Tsaqafi .

Sumber : http://shirotholmustaqim.wordpress.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar