Sabtu, 02 Oktober 2010

Kaidah Penerapan Sunnah: Pastikan Kesahihannya (Bag.1)

Penulis: Al Ustadz Muhammad Umar as Sewed

بسم الله الرحمن الرحيم

Dalam menerapkan sunnah-sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam kita harus berhati-hati dan teliti. Dalam masalah ini kita harus memperhatikan beberapa kaidah yang telah para ulama tetapkan agar penerapan sunnah itu tidak justru berbalik memancing orang untuk mencemoohkannya, padahal hal itu diakibatkan oleh kesalahan kita dalam penerapannya.

Kesalahan tersebut dapat berasal dari dua sisi.
Pertama, hadits yang dijadikan sandaran adalah hadits yang dlaif (lemah) atau bahkan palsu.
Atau kedua pemahaman kita yang keliru terhadap hadits yang kita jadikan sebagai sandaran walaupun shahih.

Oleh karena itu kaidah pertama yang harus kita perhatikan dalam penerapan sunnah adalah memastikan kesahihan hadits dan memastikan kebenaran istinbat (pengambilan, red) hukumnya. Yang pertama diistilahkan dengan riwayah, dan yang kedua diistilahkand dengan dirayah.


Keshahihan Riwayat

Dalam penerapan sunnah kita harus memastikan kebenaran hadits tersebut dari sisi riwayatnya. Dengan demikian dengan yakin kita mengamalkan hadits yang shahih dan benar-benar merupakan ucapan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam. Karena hadits-hadits yang dlaif, palsu, atau mungkar atau yang sejenisnya tidak dapat dijadikan sandaran dalam seluruh amalan kita.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah:
“Tidak boleh kita menyandarkan syariat agama ini pada hadits-hadits yang dhaif (lemah), yang tidak shahih (benar, red) ataupun tidak hasan (baik, red). (Majmu’ Fatawa juz I, hal.250)

Berkata Syaikh Zakariya bin Muhammad al-Anshari:
“Jalan orang yang ingin berdalil dengan hadits dari kitab-kitab sunnah atau kitab-kitab musnad, jika dia memiliki kemampuan untuk memeriksa hadits-hadits tersebut, hendaklah meneliti sanadnya (bersambung atau tidak -pent). Juga perawi-perawinya (terpercaya atau tidak) dan seterusnya. Kalau tidak mampu dan telah ada para ulama ahlul hadits yang menshahihkannya atau menghasankannya, boleh baginya untuk mengikutinya”.

Semua ucapan para ulama tersebut, membimbing kita agar jangan kita terjerumus dalam pemakaian hadits yang lemah yang akibatnya akan fatal terhadap diri kita dan terhadap dakwah. Jangan sampai kita digolongkan ke dalam orang-orang yang berdusta atas nama nabi, menyampaikan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam berkata begini dan begitu ternyata beliau tidak pernah mengatakannya.

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam mengancam:

مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ. (متفق عليه)

"Barang siapa yang dengan sengaja berdusta atas namaku, maka dia telah mempersiapkan tempat duduknya dalam api neraka." (HR. Bukhari Muslim dari Abu Hurairah)

Adapun hadits-hadits yang dlaif (lemah) tidak bisa menentukan suatu hukum apapun. Juga tidak bisa mewajibkan sesuatu atau menjadikannya mustahab (sunat) seperti ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah:
“Tidak seorangpun dari para ulama yang menyatakan bolehnya menganggap sesuatu adalah wajib atau mustahab dengan hadits dlaif. Barangsiapa yang mengatakan demikian, maka dia telah menyelisihi ijma’ dan kesepakatan para ulama!”. (Majmu’ Fatawa, 251)

Demikianlah prinsip ahlus sunnah dalam penerapan sunnah.
Hal ini berbeda dengan Ahlul Bid’ah dari kalangan tarikat-tarikat sufi, baik yang tergabung dalam kelompok jamaah tabligh ataupun kelompok-kelompok dzikir atau dalam bentuk sosok-sosok sufi yang ditokohkan sebagai ulama.

Mereka menganggap bahwa hadits dlaif dapat menjadi dalil dalam fadlailul a’mal. Sehingga buku mereka dipenuhi dengan hadits-hadits dlaif, maudlu’ (palsu) dan lainnya. Ketika ditegur mereka menjawab dengan enteng: ”Dlaif-dlaif juga merupakan hadits”. Akibatnya jelas, yaitu membawa mereka pada kesesatan dan penyimpangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar