Namanya adalah Said bin Jubair, ia seorang pemuda yang
bertubuh kekar, berperawakan sempurna, cekatan, gesit dan rajin. Disamping itu
ia adalah seorang yang pandai, cerdas,getol terhadap hal-hal mulia dan jauh
dari yang haram.
Berkulit hitam, rambut keriting serta garis keturunan
dari Habasyah bukanlah alasan untuk mencela kepribadiannya yang langka dan
tiada banding walaupun masih belia.
Pemuda yang berasal dari Habsyah namun loyal kepada
bangsa Arab ini, mengetahui bahwa ilmu adalah jalannya yang lurus yang akan
menghantarnya kepada Allah.
Dan bahwa ketakwaan merupakan jalannya yang terbentang
untuk mencapai surga. Maka, ia menjadikan takwa di sebelah kanannya dan ilmu di
sebelah kirinya dan mengikat kedua tangannya dengannya.
Dengan takwa dan ilmu ia bertolak menghabiskan perjalanan
hidup tanpa putus asa dan rasa jemu.
Semenjak kecil, orang-orang telah melihatnya entah itu
dengan berkutat di depan kitabnya (untuk) belajar…atau berdiri di mihrab
(untuk) beribadah. Dialah potret indah kaum muslimin di masanya.
Pemuda yang bernama Said ibn Jubair telah menimba ilmu
dari sekelompok sahabat-sahabat besar seperti Abu Said al-Khudri, ‘Adiy ibn
Hatim ath-Thaa’i, Abu Musa al-Asy’ari, Abu Hurairah ad-Dausi, Abdullah ibn Umar
dan Ummul Mukminin ‘Aisyah -semoga Allah meridlai mereka seluruhnya-.
Hanya saja gurunya yang terbesar dan pengajarnya yang
agung adalah Abdullah ibn Abbas, ‘alimnya umat Muhammad serta samudra ilmunya
yang melimpah luas.
Said ibn Jubair mengikuti Abdullah Ibnu Abbas sebagaimana
bayangan sesuatu yang selalu menempel. Ia belajar al-Qur’an dan tafsir serta
hadits dan detailnya dari beliau.
Ia juga memperdalam agama dan belajar tafsir kepadanya,
ia mempelajari bahasa sehingga sangat menguasainya. Hingga begitu ia pergi
tidak ada seorang pun di muka bumi dari penduduk zamannya kecuali pasti akan
membutuhkan ilmunya.
Ia kemudian berkeliling di negeri-negeri muslimin untuk
mencari ma’rifah (pengetahuan) beberapa saat lamanya.
Setelah sempurna apa yang ia inginkan dari ilmu. Ia
memilih Kufah sebagai rumah dan tempat tinggalnya. Di situ, ia menjadi pengajar
dan imam bagi masyarakatnya.
Ia menjadi Imam pada bulan Ramadlan. Pada satu malam ia
membaca dengan Qiraa’at (cara baca al-Qur’an) ala Abdullah ibn Mas’ud*…pada
malam yang lain dengan Qira’at ala Zaid ibn Tsabit**…dan pada malam yang ketiga
dengan Qiraa’at yang lainnya, demikianlah seterusnya.
Apabila ia shalat sendiri, mungkin dalam satu shalat ia
membaca seluruh al-Qur’an (sampai khatam 30 juz). Apabila melewati firman
Allah, (artinya) “Kelak mereka akan mengetahui. Ketika belenggu dan rantai di
pasang di leher mereka, seraya mereka diseret ke dalam air yang sangat panas,
kemudian mereka di bakar dalam api” (QS.Ghafir:70-72), atau melewati ayat-ayat
yang semisalnya yang berisi janji dan ancaman, maka berdirilah bulu kuduknya,
hancur hatinya dan bercucuranlah air matanya. Kemudian ia selalu saja memulai
dan mengulanginya lagi hingga hampir membuatnya mati.
Ia terbiasa mengadakan perjalanan ke Baitul Haram dua
kali tiap tahun…sekali di bulan Rajab berihram untuk umrah dan sekali di bulan
Dzul Qa’dah berihram untuk haji. Adalah para penuntut ilmu serta pencari
kebaikan dan nasehat berdatangan ke Kufah agar mereka bisa minum dari
sumber-sumber air Said ibn Jubair yang memancar segar…Dan agar mereka bisa
menciduk petunjuknya yang lurus.
Ini si fulan bertanya kepadanya tentang khosy-yah (rasa
takut), apakah itu?, Ia menjawabnya, “Khosy-yah adalah kamu takut kepada Allah
hingga rasa takutmu menjadi penghalang antara dirimu dengan maksiat
kepada-Nya.”
Dan fulan yang lain bertanya kepadanya tentang dzikir,
apa itu? Maka ia menjawab, “Dzikir adalah taat kepada Allah AWJ, barangsiapa
yang menghadap kepada Allah dan mentaati-Nya, maka ia telah berdzikir
kepada-Nya dan barangsiapa yang berpaling dari-Nya dan tidak mentaati-Nya, maka
ia tidak berdzikir kepada-Nya walaupun ia menghabiskan malam harinya dengan
bertasbih dan tilawah.”
Adalah Kufah ketika dijadikan oleh Said ibn Jubair
sebagai rumah tinggalnya tunduk di bawah pemerintahan Hajjaj ibn Yusuf
ats-Tsaqofy. Dimana al-Hajjaj ketika itu adalah gubernur Irak, wilayah timur
dan negeri Maa Wara’ an-Nahr (Asia Tengah). Ketika itu ia duduk menikmati
puncak kekuasaannya. Dan itu setelah ia berhasil membunuh Abdullah ibn
az-Zubair*** dan menumpas gerakannya…dan menundukkan Irak kepada kesultanan
Bani Umayyah serta memadamkan api pergolakan (revolusi) yang terjadi di sana
sini…Juga ia selalu mempergunakan pedang untuk membabat leher manusia (yang
menentangnya)…
Ia menyebarkan rasa takut di seluruh penjuru negeri,
sehingga hati-hati manusia dipenuhi dengan rasa takut dan ngeri terhadap
renggutannya (siksanya).
Kemudian Allah berkehendak agar terjadi perselisihan
antara al-Hajjaj ibn Yusuf ats-Tsaqafi dengan Abdurrahman ibn al-Asy’ats salah
seorang pembesar panglimanya. Dan (Allah berkehendak) untuk membalik
perselisihan tersebut menjadi sebuah fitnah yang melumat segala yang hijau dan
yang kering serta meninggalkan luka yang dalam di tubuh Kaum Muslimin.
Di antara cerita dari fitnah tersebut adalah bahwa
al-Hajjaj mengutus Ibnu al-Asy’ats bersama pasukannya untuk memerangi “Ratbiil”
raja Turki yang menguasai beberapa daerah yang terletak di seberang
Sijistan****.
Maka sang panglima pemberani yang selalu sukses ini
memerangi sebagian besar dari negeri “Ratbiil” dan menguasai benteng-benteng
yang kuat dari negerinya. Ia memperoleh ghanimah (harta rampasan perang, penj.)
yang banyak dari kota-kota dan desa-desanya. Kemudian ia mengirim utusan kepada
al-Hajjaj menyampaikan kabar gembira kemenangan yang besar, dan mereka membawa
seperlima ghanimah untuk disimpan di gudang Baitul Mal Muslimin. Ia juga
menulis surat untuknya yang berisi permintaan ijinnya untuk berhenti berperang
beberapa waktu guna menguji tempat-tempat masuk negeri dan tempat-tempat
keluarnya serta mempelajari tabiat dan keadaannya. Dan yang demikian itu
sebelum memasuki jalan-jalan gunungnya yang sepi dan majhul serta (sebelum)
pasukan yang menang menghadapi bahaya.
Maka al-Hajjaj marah kepadanya…
Ia (al-Hajjaj) mengirim surat kepadanya dan mengatainya
sebagai seorang pengecut dan lemah. Ia juga memperingatkannya dengan kehancuran
dan kebinasaan dan mengancam akan memecatnya dari (jabatan) panglima pasukan.
Maka, Abdurrahman mengumpulkan para tentarannya dan para
komando pletonnya. Ia membacakan surat al-Hajjaj kepada mereka serta
bermusyawarah tentangnya.
Mereka mengajaknya untuk melakukan khuruuj
(pemberontakan) terhadapnya dan bersegera untuk melepaskan ketaatan kepadanya.
Abdurrahman berkata kepada mereka, “Apakah kalian akan
membaiatku atas hal tersebut dan bersama-sama membantuku untuk berjihad
(menghadapinya) sehingga Allah mensucikan negeri Irak dari kejahatannya.”
Para tentara lantas membaiatnya atas seruan terebut.
Abdurrahman ibn al-Asy’ats bergerak bersama pasukannya
yang telah dipenuhi kebencian terhadap al-Hajjaj. Terjadilah
pertempuran-pertempuran sengit antara dirinya dengan pasukan Ibn Yusuf
ats-Tsaqofi, dimana kemenangan gemilang dapat diraihnya. Maka, sempurnalah
penguasaannya terhadap Sijistan dan sebagian besar negeri Persia.
Kemudian ia
mulai melangkah ingin merebut Kufah dan Bashrah dari genggaman al-Hajjaj.
Di saat api pertempuran berkobar antara dua kelompok, dan
Ibn al-Asy’ats selalu berpindah dari satu kemenangan kepada kemenangan lain,
al-Hajjaj tertimpa musibah yang menjadikan lawannya menjadi bertambah kuat.
(Ceritanya demikian), bahwa para wali kota mengirim surat
kepada al-Hajjaj yang isinya, “Bahwa Ahli dzimmah (Yahudi dan Nasrani yang
hidup di antara kaum muslimin dan berada dalam dzimmah (pertanggungan) Allah
dan Rasul-Nya) mulai masuk Islam agar mereka terbebas dari membayar Jizyah
(pajak yang dibayar oleh ahlu dzimmah ), dan mereka telah meninggalkan
desa-desa yang mereka bekerja padanya dan menetap di kota-kota. Dan bahwa
kharaaj (pajak bumi) telah lepas (hilang) dan pungutan-pungutan telah habis.”
Maka, al-Hajjaj menulis surat kepada para walinya di
Bashrah dan yang lainnya. Ia memerintahkan mereka untuk mengumpulkan seluruh
orang yang berpindah ke kota dari Ahli dzimmah…dan mengembalikan mereka ke
desa-desa walaupun perpindahannya membutuhkan waktu yang lama.
Para wali melasanakan perintah tersebut dan mereka
mengeluarkan jumlah yang banyak dari rumah-rumah mereka, dan menjauhkan mereka
dari sumber-sumber rizki serta mengumpulkan mereka di ujung kota.
Mereka juga mengeluarkan para wanita dan anak-anak…dan
mendorong mereka untuk berjalan menuju desa setelah beberapa saat lamanya
mereka berpisah dengannya.
Mulailah para wanita, anak-anak dan orang tua menangis,
menjerit, meminta tolong dan memanggil-manggil “Wahai Muhammad
(tolonglah)…wahai Muhammad (tolonglah)…”
Mereka dibikin bingung atas apa yang mereka perbuat dan
kemanakah mereka akan pergi?
Para Fuqaha dan Qurra (ahli ibadah dan zuhud dan hafal
qur’an) Bashrah keluar untuk menolong mereka dan memberikan syafaat, namun
mereka tidak mampu. Mulailah mereka ikut menangis karena tangisan mereka, dan
mereka memohon pertolongan atas apa yang menimpa mereka.
Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Abdurrahman ibn
al-Asy’ats, ia menyeru para Fuqaha dan Qurra untuk membantunya.
Sekelompok dari para pembesar tabi’in dan imam muslimin
memenuhi seruannya, dan di barisan paling depan ada Said ibn Jubair dan
Abdurrahman ibn Abi Laila (salah seorang pembesar tabi’in ), asy-Sya’bi (salah
seorang fuqoha tabi’in dan penyair serta cendekiawan mereka yang sangat
langka), Abu al-Bukhturi (Seorang tabi’in ahli ibadah dan zuhud ) dan yang
lainnya.
Berputarlah roda pertempuran antara kedua kelompok. Pada
mulanya kemenangan ada pada pihak Ibn al-Asy’ats atas al-Hajjaj dan para
tentaranya.
Kemudian mulailah al-Hajjaj mengungguli sedikit demi
sedikit, sehingga Ibn al-Asy’ats menderita kekalahan yang begitu memilukan dan
lari menyelamatkan dirinya sendiri. Adapun pasukannya, maka mereka menyerahkan
diri kepada al-Hajjaj dan bala tentaranya.
Al-Hajjaj memerintahkan juru bicaranya untuk menyeru di
antara para prajurit yang mengalami kekalahan dan mengajak mereka untuk
memperbaharui bai’at kepadanya.
Sebagian besar dari mereka memenuhi seruan tersebut dan
sebagian lagi menolak. Adalah Said ibn Jubair di antara orang yang
menolak.
Tatkala orang-orang yang menyerah mulai maju untuk
membaiatnya, tiba-tiba mereka di kejutkan dengan sesuatu yang tidak pernah
mereka duga.
Al-Hajjaj mulai berkata kepada salah satu dari mereka,
“Apakah kamu bersaksi atas dirimu, bahwa kamu telah kafir dengan membatalkan
baiat terhadap wali Amirul Mukminin?”
Apabila ia menjawab “ya”, maka ia menerima pembaharuan
baiatnya dan membebaskannya, dan bila ia menjawab “tidak”, maka ia membunuhnya.
Sebagian dari mereka tunduk kepadanya dan mengakui
kekufuran atas dirinya untuk meyelamatkan dirinya dari pembunuhan.
Dan sebagian lainnya merasa berat dan mengingkarinya.
Sehingga, ia membayar keengganannya dan pengingkarannya dengan leher sebagai
tebusannya.
Berita pembantaian yang mengerikan ini telah menyebar,
dimana telah terbunuh sekian ribu orang karenanya. Dan sekian ribu dari mereka
selamat setelah mereka mengakui kekufuran atas dirinya.
Dan di antaranya pula…ada seorang lelaki tua renta dari
kabilah “Khots’am”, ia tidak berpihak kepada salah satu dari kedua kelompok
tersebut…ia tinggal di seberang sungai Eufrat (sungai yang membentang antara
Suriyah dan Irak ).
Ia diseret kehadapan al-Hajjaj bersama orang-orang yang
diseret kepadanya. Tatkala ia dimasukkan menghadapnya, al-Hajjaj bertanya
tentang keadaannya. Ia menjawab, “Semenjak api pertempuran berkobar aku selalu
saja menyepi/menyendiri di seberang sungai ini. Aku menunggu apa yang akan
disingkap oleh pertempuran ini, tatkala engkau yang muncul dan menang, aku
datang kepadamu untuk berbaiat.”
“Celaka engkau…apakah engkau hanya duduk saja menunggu
tanpa ikut berperang bersama amirmu (pemimpinmu)?!” kata al-Hajjaj.
Kemudian ia (al-Hajjaj) menghardiknya seraya berkata,
“Apakah kamu bersaksi atas dirimu dengan kekufuran?”
Ia menjawab, “Seburuk-buruk orang adalah aku bila aku
beribadah kepada Allah selama delapan puluh tahun, kemudian setelah itu aku
bersaksi kekufuran atas diriku.”
“Kalau demikian aku akan membunuhmu” kata al-Hajjaj.
Ia menjawab, “Apabila engkau membunuhku…maka demi Allah umurku tidak tersisa kecuali hanya sebatas kesabaran keledai menahan haus (waktu yang singkat, penj.)…ia minum di pagi hari dan di sore harinya mati…dan aku sedang menunggu kematian pagi dan sore hari, maka lakukanlah apa yang kamu kehendaki.”
Ia menjawab, “Apabila engkau membunuhku…maka demi Allah umurku tidak tersisa kecuali hanya sebatas kesabaran keledai menahan haus (waktu yang singkat, penj.)…ia minum di pagi hari dan di sore harinya mati…dan aku sedang menunggu kematian pagi dan sore hari, maka lakukanlah apa yang kamu kehendaki.”
“Penggal lehernya” perintah al-Hajjaj kepada algojonya.
Sang algojo lantas memenggal lehernya. Tidak ada seorang pun di majlis tersebut dari para pengikut al-Hajjaj atau dari orang-orang yang memusuhinya kecuali mengagungkan syaikh yang lanjut usia tadi, dan merasa iba serta kasihan kepadanya.
Sang algojo lantas memenggal lehernya. Tidak ada seorang pun di majlis tersebut dari para pengikut al-Hajjaj atau dari orang-orang yang memusuhinya kecuali mengagungkan syaikh yang lanjut usia tadi, dan merasa iba serta kasihan kepadanya.
Kemudian al-Hajjaj memanggil Kamil ibn Ziyad an-Nakha’i
dan berkata kepadanya, “Apakah kamu bersaksi kekufuran atas dirimu?”
“
Demi Allah aku tidak akan bersaksi” jawabnya.
“Kalau demikian aku akan membunuhmu” kata al-Hajjaj.
Ia menjawab, “Laksanakan apa yang menjadi keputusanmu…sesungguhnya waktu untuk pertemuan antara kita adalah di sisi Allah (di hari kiamat)…dan setelah pembunuhan ada hisab.”
“Kalau demikian aku akan membunuhmu” kata al-Hajjaj.
Ia menjawab, “Laksanakan apa yang menjadi keputusanmu…sesungguhnya waktu untuk pertemuan antara kita adalah di sisi Allah (di hari kiamat)…dan setelah pembunuhan ada hisab.”
Al-Hajjaj berkata kepadanya, “Hujjah pada saat itu akan
menjadi bumerang atas dirimu bukan menjadi penolongmu.”
Ia menjawab, “Itu apabila kamu adalah Qadli-nya saat itu.”
“Bunuhlah ia” perintahnya.
Ia kemudian dimajukan dan dibunuh.
Ia menjawab, “Itu apabila kamu adalah Qadli-nya saat itu.”
“Bunuhlah ia” perintahnya.
Ia kemudian dimajukan dan dibunuh.
Kemudian dihadapkan kepadanya orang lain lagi. Ia sangat
membencinya dan sangat ingin membunuhnya di sebabkan atas apa yang sampai
kepadanya bahwa orang tersebut meremehkannya…ia lantas mendahuluinya dengan
berkata, “Sungguh aku melihat seseorang di hadapanku yang aku tidak
menyangkanya akan bersaksi kekufuran atas dirinya.”
Al-Hajjaj kemudian membebaskannya padahal ia sangat ingin
membunuhnya.
Berita pembantaian yang menyeramkan itu telah tersebar,
dimana sekian ribu muslimin yang teguh dalam pendirian dibantai disana…dan
sekian ribu yang lainnya selamat dari pembantaian tersebut, mereka adalah
orang-orang yang dipaksa untuk mensifati diri mereka dengan kekufuran.
Sehingga Said ibn Jubair merasa yakin bahwa apabila ia
berada di hadapan al-Hajjaj ia akan berada dalam dua pilihan tidak ada pilihan
ketiga, yaitu ia akan dipenggal lehernya atau ia harus mengakui kekufuran atas
dirinya. Kedua pilihan tersebut bagaikan buah si malakama…maka, ia memilih
untuk keluar dari negeri Irak dan menjauh (bersembunyi) dari pengkaungan. Ia
terus berjalan di bumi Allah yang luas, bersembunyi dari al-Hajjaj dan
mata-matanya, hingga ia bernaung di sebuah desa kecil di tanah Mekkah.
Ia terus berada dalam keadaan tersebut genap sepuluh
tahun lamanya. Waktu yang cukup untuk memadamkan api al-Hajjaj yang menyala
dalam dadanya, dan cukup untuk menghilangkan kedengkian yang ada pada dirinya
terhadapnya.
Hanya saja yang terjadi tidak pernah di perkirakan oleh
siapapun…yaitu datangnya seorang gubernur baru dari para wali Bani Umayyah…ia
adalah “Khalid ibn Abdullah al-Qosri.”
Para sahabat Said ibn Jubair merasa takut dalam hatinya
dari (kejahatan)nya karena mereka mengetahui keburukan perilakunya dan
memprediksikan keburukan pada kedua tangannya.
Sebagian dari mereka datang kepada Said seraya berkata
kepadanya, “Sesungguhnya orang ini (Khalid ibn Abdullah al-Qosri) telah datang
ke Mekkah, demi Allah kami merasa tidak aman dengan keberadaanmu…perkenankanlah
permintaan kami dan keluarlah dari negeri ini.”
Ia menjawab, “Demi Allah, aku telah lari hingga aku
merasa malu terhadap Allah. Aku telah ber’azm untuk tetap tinggal di tempat
ini…biarlah Allah berbuat apa yang Dia kehendaki kepadaku.”
Sumber: ath-Thabaqatul Kubra oleh Ibn Sa’d: 6/256,
az-Zuhd oleh Ahmad ibn Hanbal: 370, Thabaqat al-Fuqoha oleh asy-Syiraazi: 82,
al-Bidayah wan Nihayah: 9/96-97, Tarikh al-Bukhari: 3/461, Wafayaatul A’yaan:
2/371, Tarikhul Islam: 4/2, Tadzkiratul Huffadz: 1/71
Tidak ada komentar:
Posting Komentar