Senin, 04 Oktober 2010

Masuk Surga Tanpa Hisab dan Azab

بسم الله الرحمن الرحيم

Oleh: Al-Ustadz Abdul Mu’thi Al Maidani

Pembahasan kita kali ini secara umum masih termasuk ke dalam keutamaan Tauhid. Hanya saja kita khususkan keutamaan ini karena ini merupakan keutamaan yang Allah khususkan bagi para muwahiddun, orang benar-benar merealisasikan tauhidnya dengan sempurna. Keutamaan itu adalah dimasukkannya dia ke dalam surga tanpa harus dihisab.

Dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah hadits yang cukup panjang, diriwayatkan oleh Al-Imam Al Bukhari dan Al-Imam Muslim di dalam shahih keduanya dari sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu. Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Telah dipertunjukkan kepadaku umat-umat. Aku melihat seorang nabi, bersamanya beberapa orang (sejumlah sepuluh atau kurang) dan seorang nabi yang bersamanya satu dan dua orang, serta seorang nabi yang tak seorang pun bersamanya. Tiba-tiba ditampakkan kepadaku suatu jumlah yang banyak. Aku pun mengira bahwa mereka itu adalah umatku, tetapi dikatakan kepadaku, “Ini adalah Musa bersama kaumnya.” Lalu tiba-tiba aku melihat lagi suatu jumlah besar pula, maka dikatakan kepadaku, “Ini adalah umatmu, dan bersama mereka ada tujuh puluh ribu orang yang mereka itu masuk surga tanpa hisab dan tanpa azab.”

Kemudian bangkitlah beliau dan segera memasuki rumahnya. Maka orang-orang pun memperbincangkan tentang siapakah mereka itu. Ada di antara mereka yang berkata, “Mungkin saja mereka itu yang menjadi sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Ada lagi yang berkata, “Mungkin saja mereka itu orang-orang yang dilahirkan dalam lingkungan Islam, sehingga tidak pernah mereka berbuat syirik sedikitpun kepada Allah.” Dan mereka menyebutkan lagi beberapa perkara.

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar, mereka memberitahukan hal tersebut kepada beliau. Maka beliau bersabda,

“Mereka itu adalah orang-orang yang tidak meminta ruqyah, tidak meminta supaya lukanya dikay, tidak melakukan tathayyur dan mereka pun bertawakkal kepada Rabb mereka.”

Lalu berdirilah ‘Ukasyah bin Mihshan dan berkata, “Mohonkanlah kepada Allah agar aku termasuk golongan mereka.

Beliau menjawab,
“Kamu termasuk golongan mereka.”

Kemudian berdirilah seorang yang lain dan berkata, “Mohonkanlah kepada Allah agar aku juga termasuk golongan mereka.”

Beliau menjawab, “Kamu sudah kedahuluan ‘Ukasyah.”

Dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan kepada umatnya bahwa orang-orang yang masuk surga tanda melalui hisab maupun azab adalah mereka yang yang tidak meminta ruqyah, tidak meminta dikay, tidak melakukan tathayyur dan mereka pun bertawakkal kepada Rabb mereka.

Ruqyah adalah mengobati suatu penyakit dengan cara membacakan ayat-ayat Al-Qur’an dan doa-doa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Mayoritas Manusia Mengingkari

Hadits ini juga menjadi dalil bahwa yang selamat dari semua umat jumlahnya sedikit. Mayoritas dari mereka lebih cenderung mengikuti tabiat manusia yaitu pengingkaran terhadap para Rasul sehingga mereka binasa. Di dalam Al-Quran, Allah berfirman

وَمَا وَجَدْنَا لأكْثَرِهِمْ مِنْ عَهْدٍ وَإِنْ وَجَدْنَا أَكْثَرَهُمْ لَفَاسِقِينَ (١٠٢)

“Dan Kami tidak mendapati kebanyakan mereka memenuhi janji. Sesungguhnya Kami mendapati kebanyakan mereka orang-orang yang fasik.” (Al-A’raf: 102).

قُلْ سِيرُوا فِي الأرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِينَ مِنْ قَبْلُ كَانَ أَكْثَرُهُمْ مُشْرِكِينَ (٤٢)

“Katakanlah: ‘Adakan perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang dahulu. Kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah)’.” (Ar-Ruum: 42)

Kata Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh, “Orang-orang yang selamat dari segala umat jumlahnya sedikit. Sedangkan mayoritas dari mereka dikuasai oleh tabiat manusia. Mereka bermaksiat kepada utusan Allah dan mereka binasa.

Orang-orang yang selamat walaupun jumlahnya sedikit, mereka disebut assawadu a’dhom. Karena mereka besar nilainya di sisi Allah walaupun jumlah mereka sedikit. Maka setiap muslim hendaknya berhati-hati dengan jumlah yang banyak. Banyak orang yang tertipu dengan jumlah yang mayoritas. Sampai-sampai sebagian orang yang mengaku berilmu mereka meyakini dalam agama mereka apa yangdiyakini oleh orang-orang bodoh dan sesat. Kemudian mereka tidak menoleh kepada apa yang diucapkan oleh Allah dan Rasul-Nya.”

Kebenaran Tidak Disandarkan kepada Jumlah Mayoritas

Di dalam hadits ini diceritakan juga bahwa ada nabi yang tidak ada seorang pun bersamanya. Maksudnya nabi tersebut ketika Allah utus kepada sebuah kaum, beliau ‘alaihissalam tidak memiliki seorang pengikut pun. Dari sini bisa kita ambil pelajaran bahwa ini adalah bantahan bagi orang-orang yang mengukur kebenaran dengan jumlah yang banyak, melalui sistem demokrasi misalnya. Kebenaran adalah apa yang datang dari sisi Allah ta’ala, sebagaimana firmannya,

الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ (١٤٧)

“Kebenaran itu datang dari sisi Rabbmu, maka janganlah engkau termasuk ke dalam orang-orang yang ragu.” (Al-Baqarah: 147)

Di lain ayat Allah berfirman,

اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ

“Ikutilah oleh kalian apa yang diturunkan oleh Allah.” (Al-Baqarah: 170)

Di dalam Al-Quran Allah ta’ala malah melarang untuk mengikuti kebanyakan orang,

وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الأرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ

“Jika engkau mentaati mayoritas orang dimuka bumi, mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah” (Al-An’am: 116)

Tidaklah Allah memerintahkan untuk mengikuti suara mayoritas. Yang Allah perintahkan adalah mengikuti kebenaran yang datang dari Allah ta’ala. 


Selanjutnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan bahwa pada umatnya terdapat tujuh puluh ribu orang yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa azab. Lalu beliau bangkit dan masuk ke dalam rumahnya.

Sebagian sahabat berkata, “Barangkali mereka adalah para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Sedangkan sebagian yang lain berkata, “Barangkali mereka adalah orang-orang yang dilahirkan pada masa Islam. Sehingga mereka tak pernah berbuat syirik kepada Allah sedikitpun.” Berikutnya mereka menyebutkan beberapa kemungkinan yang lain.

Mereka memberitahukan perkaranya kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam tatkala beliau keluar. Maka beliau bersabda,

“Mereka itu adalah orang-orang yang tidak meminta diruqyah, tidak meminta dikay, tidak bertathayyur dan hanya bertawakkal kepada Rabb mereka.”

Hadits di atas menyebutkan tentang sikap para sahabat yang memperbincangkan siapa gerangan yang dimaksud oleh Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam. Ini menunjukkan keutamaan mereka dalam agama. Mereka bersemangat untuk bermudzkaroh tentang ilmu agama. Demikian pula mereka antusias untuk memahami pembicaran Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam untuk diamalkan.

Peristiwa ini juga menunjukkan kebolehan berijtihad dalam perkara-perkara yang di sana tidak terdapat dalil khusus selama yang melakukannya adalah seorang yang berilmu dan berhak untuk berijtihad. Hal ini terlihat dari perbuatan para sahabat yang masing-masingnya berijtihad untuk memahami gerangan yang dimaksud oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Sedangkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tidak mengingkarinya terhadap mereka.

Namun perlu diingat oleh seorang yang berijtihad jika dia tidak memiliki dalil, maka tidak boleh dia memastikan kebenaran ijtihadnya. Hendaknya dia hanya mengatakan, “Barangkali hukumnya demikian dan demikian.” Oleh sebab itu para sahabat tidak memastikan kebenaran ijtihad mereka dalam memahami pernyataan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana pada hadits di atas. (Lihat Qurratul Uyun halaman 28-29).

Hadits di atas menunjukkan pula tentang kebolehan berdialog dan mengadakan pembahasan tentang nash-nash syar’i dalam rangka mengambil pelajaran dan menerangkan kebenaran. Juga hadits di atas menunjukkan tentang kedalaman ilmu salaf karena mereka tahu bahwa mereka tidak akan memperoleh yang dinyatakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam kecuali dengan mengamalkannya. Ini menunjukkan bahwa mereka bersemangat untuk meraih kebaikan. (Lihat Fathul Majid)

Dalam hadits ini, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan ciri-ciri orang-orang yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa azab sebagai berikut:
  1. Tidak minta diruqyah
  2. Tidak minta dikay
  3. Tidak bertathayyur (melakukan thiyarah)
  4. Hanya bertawakkal kepada Rabb mereka


1. Tidak Minta Diruqyah
Ruqyah adalah mengobati sebuah penyakit dengan membacakan ayat-ayat Al-Quran atau zikir-zikir yang warid dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.

Yang dicela dalam hadits di atas adalah orang-orang yang meminta untuk diruqyah oleh yang selainnya. Adapun orang- orang yang meruqyah selainnya maka tidak tercela dan bukan yang dimaksudkan oleh hadits di atas. Al-Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dari hadits Ibnu ‘Abbas,

“Mereka adalah orang-orang yang tidak meruqyah”

Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiah bahwa riwayat ini merupakan kesalahan dari rowi hadits. Sebab Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya tentang meruqyah. Maka beliau menjawab,

“Barangsiapa yang mampu memberi kemanfaatan bagi saudaranya, hendaknya dia lakukan.” (HR. Muslim, Ahmad, Ibnu Majah dari Jabir radhiyallahu ‘anhu)

Di samping itu beliau bersabda,

“Tidak mengapa melakukan ruqyah selama tidak mengandung syirik.” (HR. Muslim, Abu Daud dari sahabat ‘Auf bin Malik radhiallahu ‘anhu)

Selanjutnya Syaikhul Islam berkata, “Jibril ‘alaihis salam pernah meruqyah Rasulullah shalallahu ‘alahi wasallam. Demikian pula Rasulullah shalallahu ‘alahi wasallam pernah meruqyah sahabatnya.” (Lihat Fathul Majid beserta takhrijnya halaman 85-86).

Hadits tentang Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam diruqyah oleh Jibril diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dari sahabat ‘Aisyah radhiallahu ‘anha. Telah diriwayatkan dari hadits ‘Aisyah, Anas bin Malik, Ibnu Mas’ud dan yang selain mereka dalam Shahih Al Bukhari dan yang selainnya, bacaan ruqyah yang cukup banyak dari Rasulullah shalallahu ‘alahi wasallam.

Perbedaan antara meruqyah dan minta diruqyah bahwa seorang yang minta diruqyah meminta dan mengalihkan hatinya kepada yang selain Allah. Sedangkan seorang yang meruqyah berbuat kebaikan kepada orang lain. Karenanya, yang dicela dalam hadits di atas adalah seorang yang meminta diruqyah. Maka seorang yang berbuat demikian tidak tergolong dari orang-orang yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa azab. Sebab mereka itu adalah orang-orang yang sempurna tawakkal dan penyandaran hatinya kepada Allah. Demikian lebih kurang yang dijelaskan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah. (Lihat Fathul Majid halaman 86)

Orang-orang yang tidak meminta diruqyah oleh yang selainnya mendapatkan ganjaran masuk surga tanpa hisab dan tanpa azab. Karena mereka memiliki beberapa sifat sebagai berikut

Pertama, karena penyandaran diri mereka sangat kuat terhadap Allah subhanahu wa ta’ala.

Kedua, karena kemuliaan diri mereka yang tidak mau merendah kepada selain Allah (dengan meminta diruqyah oleh orang lain).

Ketiga, karena dalam perbuatan meminta diruqyah terdapat keterikatan kepada selain Dzat Allah. Yaitu keterikatan kepada orang yang meruqyah.
(Lihat Al-Qaulul Mufid 1/197)

Mengenai hukum ruqyah terbagi sebagai berikut:

1. Meruqyah Orang Lain
Hukumnya adalah mustahab. Sebab Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Barangsiapa yang mampu memberi kemanfaatan bagi saudaranya, hendaknya dia lakukan.” (HR. Muslim, Ahmad, Ibnu Majah dari Jabir radhiyallahu ‘anhu)

Meruqyah termasuk perkara yang memberi kemanfaatan bagi orang lain.

2. Meminta Diruqyah

Hukumnya adalah makruh berdasarkan hadits Ibnu Abbas di atas. Karena dapat mengurangi kesempurnaan tauhid.

3. Tidak Menolak Orang Lain untuk Meruqyah tanpa Memintanya
Hukumnya adalah mubah (diperbolehkan). Yang demikian ini tidak mengurangi kesempurnaan tauhid. Sebab Rasulullah shalallahu ‘alahi wasallam tidak menolak ‘Aisyah untuk meruqyahnya. Adapun hadits di atas berbunyi, “Tidak minta diruqyah.” Tentunya berbeda antara seorang yang diruqyah dengan memintanya dan seorang yang diruqyah tanpa memintanya.

4. Tidak Bersedia untuk Diruqyah
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tidak menolak ketika diruqyah oleh malaikat Jibril ‘alahis salam dan ‘Aisyah radhiallahu ‘anha.
 
2. Tidak Meminta dikay

Kay adalah metode pengobatan dengan cara menempelkan besi panas dan yang sejenisnya pada kulit bagian tubuh yang sakit. Pengobatan dengan cara kay adalah perkara yang diperbolehkan dalam syariat islam. Dalil yang menunjukkan kebolehannya adalah hadits Jabir bin Abdullah radhiallahu ‘anhuma. Beliau berkata,

“Sesungguhnya Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam mengutus seorang tabib kepada Ubay bin Kaab. Lalu sang tabib memutus salah satu urat Ubay bin Kaab kemudian mengkaynya.” (HR. Muslim)

Dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu,

“Bahwasanya beliau mengkay penyakit bisul yang besar dan muncul pada bagian dalam lambung. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup.” (HR. Al Bukhari)

Dalam hadits yang lain Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata,

“Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengkay As’ad bin Zuroroh karena wajah dan tubuhnya memerah.” (HR. At Tirmidzi dan beliau berkata, hadits ini hasan ghorib)

Hadits-hadits di atas menunjukkan tentang kebolehan melakukan pengobatan dengan cara kay. Akan tetapi di sana terdapat pula sebagian hadits yang melarangnya. Dalam riwayat lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan ketidaksukaannya terhadap pengobatan dengan cara kay ini.

Adapun hadits-hadits itu sebagai berikut:
Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Penyembuhan itu terdapat pada tiga hal; Minum madu, berbekam, dan dikay dengan api. Dan aku melarang umatku dari melakukan kay.” (HR. Al Bukhari)

Dari Jabir bin Abdullah radhiallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Dan aku tidak suka bila aku dikay.” (HR. Al Bukhari)

Hadits-hadits ini seolah-olah berlawanan dengan hadits-hadits di atas. Maka untuk memahaminya marilah kita menyimak penjelasan Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berikut ini,

“Hadits-hadits mengenai pengobatan dengan cara kay mengandung empat hal:
  1. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukannya.
  2. Ketidaksukaan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap kay.
  3. Pujian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap orang yang meninggalkan kay.
  4. Larangan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dari perbuatan kay.

Alhamdulillah, keempat jenis hadits ini tidaklah saling bertentangan satu sama lain. Karena perbuatan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menunjukkan kebolehannya. Sedangkan ketidaksukaan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menunjukkan pelarangannya. Sementara pujian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bagi orang yang meninggalkannya menunjukkan bahwa yang demikian itu lebih baik dan lebih utama. Adapun larangan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam apabila dilakukan dengan permintaan sendiri dan hukumnya makruh. Bisa pula yang dimaksud bahwa kay termasuk jenis pengobatan yang tidak dibutuhkan, tetapi dilakukan ketika khawatir akan tertimpa oleh sebuah penyakit. Wallahu a’lam.” (Zadul Ma’ad 4/60).

Tidak meminta untuk dikay termasuk dari ciri-ciri orang-orang yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa azab dikarenakan perbuatan ini akan melemahkan penyandaran diri kepada Allah. Sebagaimana dinyatakan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin.

3. Tidak bertathayyur (Melakukan Thiyarah)

Thiyarah adalah suatu metode peramalan nasib. Asal istilah ini bermakna ramalan nasib buruk dengan melihat burung. Namun sesungguhnya perkara ini lebih umum dari yang telah disebutkan. Maka mencakup segala ramalan nasib buruk baik dengan melihat dan mendengar sesuatu. Demikian pula segala ramalan nasib buruk yang dikaitkan dengan zaman atau tempat tertentu.

Dahulu bangsa Arab dikenal suka melakukan hal ini. Apabila salah seorang dari mereka ingin melakukan suatu kebaikan lalu dia melihat burung melintas ke kanan atau ke kiri maka niatnya diurungkan. Hal ini disesuaikan dengan adat kebiasaan yang berlaku di kalangan mereka. Di antara mereka ada yang bila mendengar sebuah suara atau melihat seseorang dia meramal nasib buruk (akan menimpanya). Di antara mereka ada yang meramalkan nasib buruk jika melakukan pernikahan di bulan Syawwal. Oleh karena ini ‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkata,

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengikat akad nikah denganku di bulan Syawal, mulai berumah tangga denganku di bulan Syawwal. Maka siapa di antara kalian (wahai para istri nabi) yang paling besar keberuntungannya di sisi beliau.” (HR. Muslim)

Di antara mereka ada yang meramal nasib buruk yang dikaitkan dengan hari Rabu atau dengan bulan Safar. Ini semua merupakan perkara yang telah dibatalkan oleh syariat sebab membahayakan akal, pemikiran dan jalan hidup seseorang. Apabila seorang insan tidak mempedulikan ramalan-ramalan itu maka inilah yang disebut dengan bertawakkal kepada Allah. Karenanya beliau menutup pembicaraan dengan menyatakan, “Mereka hanya bertawakal kepada Rabb mereka.” Maka peniadaan seluruh perkara ini dari diri mereka menunjukkan kekuatan tawakkal mereka. (Al-Qaulul Mufid/1-99)

Melakukan thiyarah adalah perkara yang diharomkan karena merupakan kesyirikan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“At-Thiyarah itu syirik. At-Thiyarah itu syirik. Dan tak seorang pun dari kita kecuali (di hatinya terdapat perkara ini). Akan tetapi Allah menghilangkannya dengan tawakkal.” (Hadits hasan shahih, diriwayatkan oleh Abu Daud, At-Tirmidzi dan yang selainnya).

Dinyatakan sebagai syirik sebab thiyarah mengandung ketergantungan hati kepada yang selain Allah. (Fathul Majid halaman 377)

4. Bertawakkal kepada Rabb Mereka

Di sini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan dasar berpijak yang mengumpulkan seluruh ciri yang sebelumnya yaitu bertawakkal, kejujuran penyandaran diri dan hati kepada Allah ta’ala. Inilah puncak perealisasian tauhid yang membuahkan berbagai kedudukan yang mulia. Yaitu yang berupa kecintaan, pengharapan, rasa takut dan keridhaan terhadap Allah sebagai Rabb dan Ilah (sesembahan). Demikian pula keridhaan terhadap keputusan takdirnya. (Fathul Majid halaman 87)

Sebuah pertanyaan yang masih tersisa dalam pembahasan ini yaitu, “Apakah melakukan perkara-perkara di atas adalah tercela atau hanya mengurangi kesempurnaan tauhid? .” Jawabannya bahwa perkara-perkara itu mengurangi kesempurnaan tauhid kecuali yang berkaitan dengan thiyarah. Sebab thiyarah mengandung bahaya dan tidak memiliki hakikat sama sekali. (Qaulul Mufid 1/99)

Keempat ciri yang telah disebutkan di atas menunjukkan kekuatan tawakkal dan penyerahan urusan mereka kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Hati mereka tidak bergantung kepada selain Allah dalam setiap perkara yang telah Allah atur dan tetapkan. Sehingga mereka tidak berharap dan takut kecuali kepada Rabb mereka.

Mereka meyakini bahwa segala yang menimpa mereka merupakan takdir dan pilihan Allah bagi mereka. Mereka tidak meminta perlindungan kecuali kepada Allah semata untuk menghilangkan bahaya yang menimpa. Allah berfirman tentang ucapan Nabi Ya’qub ‘alaihis salam,

“Sesungguhnya hanya kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku” (Yusuf: 86) (Qurratul Uyun halaman 29)

Untuk menutup penjelasan kali ini, baik sekali bila kita mencermati keterangan Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di. Beliau berkata, “Maka barangsiapa merealisasikan tauhid dalam bentuk yang seperti ini, dia akan memperoleh keutamaan-keutamaan yang diisyaratkan pada bab sebelumnya secara sempurna. Wallahu a’lam.” (Al-Qaulul Sadid halaman 23).


Sumber: Buletin Jum’at Al Muslim, diterbitkan oleh Panitia Kajian Islam Yogyakarta; http://ahlussunnah-bangka.com/2009/04/29/masuk-surga-tanpa-hisab-dan-azab-3/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar