Selasa, 28 September 2010

Sebab Musabab Munculnya Terorisme

Penulis: Al Ustadz Abu Muhammad Dzulqarnain

Sudah merupakan tabiat manusia -khususnya orang yang bergerak di bidang pemberitaan- untuk antusias menanggapi kejadian yang mengagetkan dan menggemparkan mereka. Tak ayal lagi, berbagai komentar dan pernyataan terlontar pasca kejadian-kejadian tersebut. Di antara mereka ada yang mengutuk, ada yang benci dan ada pula yang mendukung. Sejumlah analisa akan bahaya yang muncul dari perbuatan tersebut dilansir di berbagai mass media, forum diskusi, seminar dan lain-lainnya.

Ya, sangat disayangkan, kebanyakan analisa tersebut hanya menyinggung bahayanya dari apa yang ditangkap oleh kasat mata manusia tanpa menoleh kepada pandangan syari’at Islam yang begitu lengkap dalam mengungkap dampak-dampak negatif dari perbuatan-perbuatan tersebut[1]. Dan yang lebih menyedihkan lagi bahwa sangatlah sedikit di antara mereka yang menyinggung faktor-faktor penyebab yang merupakan sumber malapetaka dan musibah pada kejadian-kejadian tersebut. Mereka lupa bahwa tanpa menuntaskan sumbernya, maka malapetaka dan musibah tersebut tetap akan meninggalkan masalah dan ancaman serius di masa mendatang. Kebanyakan orang memang memahami bahwa “tiada asap tanpa api”, namun sangat disayangkan bahwa pembicaraan tentang kejadian-kejadian tersebut hanya terbatas pada zhohirnya, bahayanya, gangguan terhadap manusia dan seterusnya.

Dan seorang muslim yang baik akan selalu bercermin dan mengintrospeksi dirinya pada segala musibah yang terjadi dan kemudian segera bertaubat kepada Allah Ta’âlâ terhadap apa-apa yang telah ia terlantarkan. Sebab tidaklah suatu musibah turun kecuali karena dosa, dan tidaklah musibah tersebut diangkat kecuali dengan bertaubat. Dan makna ini tentunya sangat banyak dalam nash-nash Al-Qur`ân dan As-Sunnah. Diantaranya adalah firman-Nya,

“Dan apa saja yang menimpamu berupa suatu bencana, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. An-Nisâ` : 79)

“Dan musibah apa saja yang menimpa kalian maka (itu) adalah disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri.” (QS. Asy-Syûrâ : 30)

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rûm : 41)

Berikut ini, kami akan mencoba menyebutkan sebab-sebab pokok yang merupakan sumber pemicu munculnya aksi-aksi teror tersebut.

Dan secara umum, munculnya aksi-aksi teror tersebut kembali kepada tiga sebab pokok,

Satu : Sebab-sebab yang kembali kepada para pelaku teror itu sendiri. Baik karena kejahilannya, pemahamannya yang sesat dan semisalnya.

Dua : Sebab-sebab yang kembali kepada lingkungan masyarakat yang ia tinggal di dalamnya, yang telah bergejolak padanya berbagai kerusakan, suasa politik yang panas, ketidakpuasan dan sebagainya.

Tiga : Sebab-sebab yang kembali kepada faktor-faktor eksternal, berupa makar-makar musuh, kezholiman, penindasan dan sebagainya.

Tentunya uraian-uraian ini tidak bisa mencakup seluruh sebab munculnya terorisme karena jalan-jalan kesesatan tiada terbilang dan keadaan suatu negara atau masyarakat beraneka ragam dari sisi keagamaan, perekonomian, politik dan lain-lainnya sehingga kami hanya menyebutkan rincian sebab-sebab pokoknya saja.

Kami juga tidak menyinggung sebab-sebab terorisme yang terdapat pada orang-orang kafir sebab mereka telah dikenal dengan prilaku terorisme dari dahulu hingga sekarang, di mana kelakuan-kelakuan teror mereka tidaklah luput dari pandangan manusia yang mempunyai akal sehat.

Pembahasan ini adalah perbaikan dari dalam untuk kaum muslimin, individu maupun negara, dimana Allah Subhânahu wa Ta’âlâ telah mengingatkan,

“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d : 11)

[1] Insya Allah akan ada uraian tersendiri tentang hal ini pada hal 147.

Bagian Pertama

Uraian-uraian yang akan disebutkan, adalah kami simpulkan dari berbagai jasa ulama zaman ini dalam menanggulangi masalah terorisme, baik itu berupa karya tulis, ceramah ilmiyah maupun yang lainnya.

Sebab Pertama : Jauh dari tuntunan syari’at Allah.

Menjauh dan berpaling dari syari’at Islam adalah sebab kebinasaan dan kesengsaraan. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

“Barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thôhâ : 123-124)

Maka meninggalkan tuntunan dan aturan agama dan tidak menerapkannya dalam kehidupan adalah sebab kesengsaraan dan kesesatan, di mana terorisme terhitung bagian dari kesengsaraan yang menimpa manusia.

Dan fenomena terjauh dari tuntunan syari’at ini nampak dalam beberapa perkara :
  1. Banyaknya bid’ah dan keyakinan yang rusak sehingga melahirkan perpecahan, pertikaian dan kelompok sempalan.
  2. Berpaling dari jalan Salafush Shôlih, bahkan mengingkari dan menentangnya.
  3. Tersebarnya kemungkaran, kekejian dan maksiat serta munculnya berbagai kerusakan, bahkan kadang dalam bentuk produk yang bersegel resmi dan mendapat perlindungan.
  4. Terpaut kepada semboyan-semboyan dan dasar-dasar pemikiran rusak yang kebanyakannya diekspor dari luar kaum muslimin.

Perkara-perkara di atas dan yang semisalnya semua tergolong keberpalingan dan penjauhan diri dari agama. Kalau hal itu tetap berlangsung dan tidak diadakan perubahan terhadapnya maka pasti akan menjadi jalan utama pintu terorisme.

Sebab Kedua : Jahil terhadap tuntunan syari’at dan sedikit pemahaman agama.

Kejahilan adalah penyakit dan kejelekan yang sangat berbahaya. Darinyalah lahir berbagai fitnah, kerusakan dan malapetaka.

Dari kenyataan yang ada, kita melihat berbagai aksi terorisme dengan mengatasnamakan agama, padahal kenyataannya hal tersebut muncul dari sedikitnya pemahaman terhadap agama yang benar.

Kejahilan terhadap tuntunan agama ini nampak dengan jelas pada beberapa perkara penting,

1. Jahil terhadap kaidah-kaidah syari’at, etika dan adab-adabnya. Sehingga kadang si jahil melakukan suatu perbuatan yang menurutnya adalah sebuah perbaikan dan solusi, namun ia telah menempuh jalan salah lagi sesat karena kejahilannya terhadap kaidah-kaidah agama, etika dan adab-adabnya, seperti keadaan sebagian pelaku teror yang ingin merubah kemungkaran dan mengeluarkan orang-orang kafir dari negeri kaum muslimin dengan melakukan peledakan, penghancuran tempat tinggal dan fasilitas mereka tanpa menghiraukan kaidah-kaidah syari’at tentang pembagian-pembagian orang kafir, kapan disyari’atkan melakukan peperangan terhadap mereka, dan tidak memperdulikan kaum muslimin yang menjadi korban dari perbuatan tersebut.

2. Jahil akan maksud, mashlahat dan hikmah Islam dalam syari’at yang ditetapkannya.

Memahami maksud dan hikmah-hikmah syari’at adalah suatu hal yang sangat mendasar dalam agama kita.

Berkata Ibnul Qayyim rahimahullâh, “Sesungguhnya syari’at ini, dasar dan asasnya dibangun di atas berbagai hikmah dan kemashlahatan untuk segenap hamba dalam kehidupan dunia dan akhirat. Dan (syari’at) seluruhnya adalah keadilan, seluruhnya adalah rahmat, seluruhnya adalah kemashlahatan dan seluruhnya adalah hikmah. Setiap masalah yang keluar dari keadilan menuju kesewenang-wenangan, dari rahmat kepada kebalikannya, dari mashlahat kepada mafsadat dan dari hikmat kepada hal yang sia-sia, maka tidaklah tergolang dari syari’at walau (masalah tersebut) dimasukkan ke dalam syari’at karena suatu ta`wîl (alasan lemah).” [1]

Dan kalau kita menyaksikan sejumlah aksi terorisme yang terjadi di berbagai negara kaum muslimin pada masa ini, maka nampak jelas bahwa aksi-aksi terorisme tersebut muncul dari kejahilan akan maksud dan hikmah pensyari’atan. Apakah sejalan hikmah dan keadilan syari’at sejalan dengan aksi-aksi peledakan yang telah menelan korban jiwa yang tidak bersalah bahkan juga menelan korban dari kaum muslimin?

Apakah dibenarkan dalam syari’at merusak perjanjian-perjanjian dan kehormatan kaum muslimin?

Apakah selaras dengan maksud dan tujuan syari’at mengadakan berbagai teror terhadap musuh yang tidak membuat musuh jera atau lumpuh, bahkan membuat musuh semakin lancang dan mempunyai sejuta alasan untuk melancarkan makar dan kebejatan mereka terhadap Islam dan kaum muslimin!?

Apakah sejalan dengan syari’at agung ini menamakan seluruh hal di atas sebagai jihad di jalan Allah?

Tidaklah diragukan bahwa seluruh hal di atas terdapat padanya berbagai pelanggaran syari’at dan kerusakan dan sangat bertentangan dengan maksud dan hikmah dari disyari’atkannya tuntunan agama.

Berkata Al-‘Izz bin ‘Abdussalâm (w. 660 H) rahimahullâh, “Peperangan apa saja yang tidak mewujudkan kekalahan musuh maka wajib untuk ditinggalkan. Karena mempertaruhkan nyawa hanya dibolehkan dalam hal-hal yang ada mashlahat kemuliakan agama dan untuk mengalahkan musuh. Apabila hal tersebut tidak tercapai maka wajib untuk meninggalkan perang karena akan melayangkan nyawa dengan sia-sia, memuaskan hati-hati kaum kuffar, dan merendahkan kaum muslimin. Dan dengan demikian, (peperangan tersebut) hanya sekedar kerusakan semata, tiada suatu mashlahat pun dalam lembarannya.” [2]

3. Jahil terhadap rincian dan uraian detail permasalahan-permasalahan agama seperti masalah jihad, ketaatan kepada penguasa, hukum seputar orang-orang kafir, pemerintahan, amar ma’ruf nahi mungkar dan sebagainya.

Dan kejahilan yang seperti ini pasti akan menyebabkan jatuhnya orang-orang tersebut dalam salah satu sumber kesesatan, yaitu mengambil sebagian dari suatu tuntunan syari’at dan meninggalkan yang lainnya. Dan fenomena yang seperti ini telah menjadi sumber pemicu fitnah dan kerusakan dari masa ke masa, termasuk pendalilan dan argumentasi para pelaku terorisme yang menamakannya sebagai jihad di jalan Allah.

Dan bahaya lain akibat kejahilan ini adalah menyibukkan diri dengan cabang-cabang permasalah dan melalaikan masalah-masalah besar yang merupakan kebaikan dan kemashlahatan umat.

Sebab Ketiga : Sikap ekstrim.

Sikap ekstrim adalah suatu hal yang tercela dalam agama sebagaimana yang telah diuraikan. Dan sikap ekstrim ini adalah sumber kerusakan dan penyimpangan.

Berkata Ibnul Qayyim rahimahullâh, “Tidaklah Allah memerintah dengan suatu perintah kecuali syaithôn punya dua sasaran aksi perusakan, apakah untuk menelantarkan dan menyia-nyiakan, atau untuk berlebihan dan esktrim. Dan agama Allah pertengahan antara yang menyepelekan padanya dan yang ekstrim.” [3]

Dan demi Allah, tidaklah kejadian aksi-aksi peledakan tersebut muncul kecuali karena sikap ekstrim dalam menerapkan prinsip-prinsip agama.

Ekstrim dalam pengkafiran, sehingga kadang seorang pelaku dosa besar dianggap batal keislamannya oleh orang-orang tersebut.

Ekstrim dalam hal amar ma’ruf nahi mungkar sehingga banyak menjatuhkan pelakunya ke dalam jurang kesesatan dan menimbulkan berbagai problem terhadap umat.

Ekstrim dalam penegakan jihad di jalan Allah, sehingga mereka mengobarkan jihad bukan pada tempatnya yang sama sekali tidak dituntunkan dalam syari’at.

Dan tidak jarang terdengar dari sebagian orang, kelompok dan jama’ah ekstrim kalimat-kalimat berbahaya, hanya karena suatu kesalahan yang mengandung banyak kemungkinan terdengar kalimat “Ia adalah nashrany bersalib”, atau karena alasan yang sangat lemah bagaikan sarang laba-laba terdengar kalimat “Pemerintah kafir beserta antek-anteknya membiarkan Amerika dan sekutunya menduduki tanah suci”, atau karena tidak sepaham dan berbeda pendapat terdengar cercaan sadis terhadap ulama “Ulama penguasa, penjilat, budak dan takut kehilangan dunia”, “Ulama Qô’idûn (tidak berangkat berjihad saat bendera jihad ditegakkan)”.

Dan banyak lagi fenomena ekstrim yang amatlah panjang untuk diuraikan di sini.

[1] I’lâmul Muwaqqi’în 3/3.

[2] Qawâ’idul Ahkâm Fii Mashôlihil Anâm 1/95 dengan perantara kitab Asbâb Zhohitul Irhâb Fil Mujtama’ân Al-Islâmiyah hal. 13 karya DR. ‘Abdullah Al-‘Amru.

[3] Madârijus Sâlikin 2/517.

Bagian Ketiga

Sebab Keenam : Hizbiyah terselubung.

Hizbiyah yang menjamur pada kelompok, yayasan, organisasi, golongan dan jama’ah-jama’ah yang menisbatkan dirinya kepada Islam adalah penyakit dan malapetaka yang sangat besar bagi siapa saja yang terjerembab ke dalamnya.

Bentuk-bentuk hizbiyah yang pondasinya dibangun di atas dasar perselisihan dan perpecahan, keluar dari jama’ah kaum muslimin dan membangun ikatan loyalitas untuk dirinya, kelompok atau jama’ahnya adalah suatu hal yang tercela dalam Al-Qur`ân dan As-Sunnah. Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman,

“Dan janganlah kalian menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” (QS. Âli Imrân : 105)

“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepada kalian agar kalian bertakwa.” (QS. Al-An’âm : 153)

“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepada kalian agar kalian bertakwa.” (QS. Al-An’âm : 159)

“Dan janganlah kalian termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (QS. Ar-Rûm : 31-32)

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâh, “Tidaklah boleh bagi para guru untuk membuat manusia berkelompok-kelompok dan berbuat apa-apa yang menyebabkan terjadinya permusuhan dan kebencian, bahkan hendaknya mereka seperti sesama saudara yang tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan.” [1]

Syaikh Ibnu Bâz rahimahullâh menyatakan, “Dan dari hal yang tidak diragukan lagi bahwa banyaknya kelompok-kelompok dan jama’ah-jama’ah dalam masyarakat Islam termasuk hal yang syaithôn sangat bersemangat terhadapnya -pertama- dan -kedua- oleh musuh-musuh Islam.” [2]

Dan Syaikh Al-Albâny rahimahullâh mengingatkan, “Tidaklah luput dari setiap muslim yang mengetahui Al-Kitâb dan As-Sunnah serta apa-apa yang para salaf yang sholih radhiyallâhu ‘anhum berada di atasnya bahwa hizbiyah dan pengelompokan pada jama’ah-jama’ah yang -pertama- mereka beraneka ragam pemikirannya, kemudian –kedua- beraneka ragam manhaj dan uslubnya adalah sama sekali bukan dari Islam, bahkan hal tersebut termasuk perkara yang dilarang oleh Rabb kita ‘Azza wa Jalla dalam banyak ayat dari Al-Qur`ân Al-Karîm.” [3]

Berkata Syaikh Ibnu ‘Utsaimîn rahimahullâh, “Berbilangnya jama’ah-jama’ah adalah fenomena yang sakit, bukan fenomena yang sehat. Dan yang saya pandang, hendaknya umat Islam menjadi kelompok yang satu (saja), mengacu kepada kitab Allah dan Sunnah Rasulullâh-Nya shollallâhu ‘alaihi wa sallam.” [4]

Dan guru kami, Syaikh Shôlih Al-Fauzân hafizhohullâh berkata, “Maka jama’ah-jama’ah dan perpecahan di alam Islam yang terjadi pada hari ini tidaklah dibenarkan oleh agama Islam, bahkan (Islam) melarang hal tersebut dengan larangan yang sangat keras dan memerintah untuk bersatu di atas ‘aqidah tauhid dan manhaj Islam sebagai satu jama’ah dan satu umat, sebagaimana yang Allah Subhânahu wa Ta’âlâ perintahkan kepada kita. Adapun perpecahan dan berbilangnya jama’ah, itu hanyalah tipu daya syaithôn jin dan manusia terhadap umat ini.” [5]

Dan Syaikh Rabî’ bin Hâdi Al-Madkhaly hafizhohullâh menyatakan, “Maka secara global, ulama Islam dan ulama Sunnah yang terdahulu dan yang belakangan tidaklah membolehkan perpecahan ini, tidak pula (membolehkan) hizbiyah ini, dan tidak pula (membolehkan) jama’ah-jama’ah yang beraneka ragam manhaj dan keyakinannya ini. Karena Allah telah mengharamkan hal tersebut, demikian pula Rasulullâh shollallâhu ‘alaihi wa sallam. Dan dalil-dalil (tentang hal tersebut) sangatlah banyak.” [6]

Suatu perkara yang terselubung hanyalah menunjukkan jeleknya perkara tersebut, demikian pula halnya hizbiyah yang terselubung. Berkata ‘Umar bin ‘Abdul ‘Azîz (w. 101 H) rahimahullâh, “Apabila engkau melihat suatu kaum yang berbisik-bisik tentang suatu masalah agama tanpa khalayak umum, maka ketahuilah bahwa mereka sedang merintis suatu kesesatan.” [7]

Dan manhaj hizbiyah yang terselubung ini sangat berpotensi untuk melahirkan berbagai bentuk sikap ekstrim dan berlebihan yang akan berakhir kepada terorisme dan peledakan.

Berikut penjelasan bahwa hizbiyah terselubung ini adalah salah satu sebab terorisme pada masa dahulu, terlebih lagi pada masa sekarang.

[1] Majmû’ Fatâwâ 28/15-16.

[2] Majmû’ Fatâwâ wa Maqâlât Mutanawwi’ah 5/204.

[3] Fatâwâ Syaikh Al-Albâny hal. 106.

[4] Ash-Shohwah Al-Islamiyah hal. 155.

[5] Sebagaimana dalam kitab Jamâ’ah Wâhih Laa Jamâ’ât hal. 184.

[6] Jamâ’ah Wâhih Laa Jamâ’ât hal. 184. Nukilan ini dan beberapa nukilan sebelumnya melalui perantara makalah Samîr Al-Mabhûh dengan judul “Firra Minal Hizbiyah Firâraka Minal Asad.”

[7] Riwayat Ahmad dalam Az-Zuhud 1/289, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 5/338 dan Al-Lâlakâ`iy 1/135. Dan riwayat Al-Auzâ’iy dari ‘Umar bin ‘Abdul ‘Azîz ada keterputusan.

(http://jihadbukankenistaan.com/terorisme/sebab-sebab-munculnya-terorisme-sebab-6.html)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar