Kamis, 30 September 2010

Hukum-Hukum Seputar Puasa Muharram & Keutamaannya


بسم الله الرحمن الرحيم
oleh Al-Ustadz Abu Muawiah -hafidzahullah-

Hukum-Hukum Seputar Puasa Muharram
Alhamdulillah pada saat ini kita telah berada di bulan Muharram, salah satu bulan dari empat bulan yang memiliki kehormatan di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana yang dikhabarkan oleh Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dalam sabda beliau: “Sesungguhnya zaman telah berputar kembali seperti bentuknya ketika Allah menciptakan langit-langit dan bumi, satu tahun itu 12 bulan dan di antaranya ada 4 bulan haram (yang memiliki kehormatan), 3 bulan (di antaranya) berturut-turut : Dzul Qo’dah, Dzul Hijjah, Muharram dan bulan Rajabnya Mudhor yang berada antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Dan bulan ini juga merupakan salah satu dari beberapa bulan yang Allah Ta’ala telah menurunkan syariat puasa khusus di dalamnya yaitu puasa yang kita kenal bersama dengan nama puasa asyura. Karena itu pada pembahasan kali ini, kami akan mengangkat beberapa hukum seputar puasa Asyuro, semoga kaum muslimin sekalian bisa mendapatkan ilmu dan pelajaran tentangnya sebelum terjun melaksanakannya.

1. Dalil-Dalil Tentang Disyari’atkannya.
a. Hadits Aisyah radhiallahu ‘anha beliau berkata, “Dulu pada hari Asyuro, orang-orang Quraisy berpuasa padanya di masa jahiliyah dan adalah Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam dulu juga berpuasa padanya. Tatkala beliau berhijrah ke Madinah, beliau berpuasa padanya dan memerintahkan (manusia) untuk berpuasa padanya. Dan tatkala (puasa) ramadhan diwajibkan beliaupun meninggalkan (puasa) hari Asyuro. Maka (semenjak itu) siapa saja yang ingin (berpuasa padanya) maka dia berpuasa dan siapa saja yang ingin (untuk tidak berpuasa) maka dia meninggalkannya”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

b. Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma beliau berkata, “Nabi datang (hijrah) ke Madinah dan beliau mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyuro`, maka beliau bertanya: “Apa ini?”, mereka (orang-orang Yahudi) menjawab: “Ini adalah hari baik, ini adalah hari Allah menyelamatkan Bani Isra`il dari musuh mereka maka Musa berpuasa padanya”, beliau bersabda : “Kalau begitu saya lebih berhak dengan Musa daripada kalian” maka beliaupun berpuasa dan memerintahkan (manusia) untuk berpuasa”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

c. Hadits Jabir bin Samurah radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Adalah Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kami untuk berpuasa pada hari ‘Asyuro`, memotivasi dan mengambil perjanjian dari kami di sisi beliau, tatkala telah diwajibkan (puasa) Ramadhan, beliau tidak memerintahkan kami, tidakpula melarang kami dan tidak mengambil perjanjian dari kami di sisi beliau”. (HR. Muslim)
Dalil-dalil ini menunjukkan bahwa puasa asyura awal kali disyariatkan ketika beliau tiba pertama kali di kota Madinah. Adapun sebab asal pensyari’atannya yaitu karena pada hari itu Allah Ta’ala menyelamatkan Nabi Musa ‘alaihissalam dari musuhnya sebagaimana dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Abbas di atas, jadi bukan karena mengikuti agamanya orang-orang Yahudi. Lihat Nailul Author (4/288)

2. Hukumnya.
Nampak jelas dari hadits-hadits di atas dan juga dari hadits-hadits yang lain yang semakna dengannya bahwa dulunya hukum puasa hari ‘Asyuro` adalah wajib karena Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam memerintahkannya sebagaimana dalam hadits Ibnu ‘Abbas di atas. Akan tetapi setelah turunnya kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan maka hukum wajib ini dimansukh (terhapus) menjadi sunnah sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadits Aisyah radhiallahu ‘anha.
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam Syarh Muslim (8/6), “Para ulama telah bersepakat bahwa puasa pada hari ‘Asyuro` hukumnya sekarang (yaitu ketika telah diwajibkannya puasa Ramadhan) adalah sunnah dan bukan wajib”. Dan ijma’ akan hal ini juga telah dinukil oleh Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah sebagaimana dalam Fathul Bary (2/246)

3. Keutamaannya.
Ada beberapa hadits yang menunjukkan keutamaan berpuasa pada hari ‘Asyuro`, berikut di antaranya :
a. Hadits Abu Qotadah Al-Harits bin Rib’iy radhiallahu ‘anhu, beliau berkata, “Sesungguhnya Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya tentang puasa hari ‘Arafah, maka beliau menjawab : “Menghapuskan (dosa-dosa) setahun yang lalu dan (setahun) yang akan datang”, dan beliau ditanya tentang puasa hari ‘Asyuro` maka beliau menjawab : “Menghapuskan (dosa-dosa) setahun yang lalu”. (HR. Muslim)

b. Hadits ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma beliau berkata, “Saya tidak pernah melihat Nabi Shollallahu ‘alaihi wasallam sangat bersungguh-sungguh berpuasa pada suatu hari yang dia lebih utamakan daripada selainnya kecuali pada hari ini hari ‘Asyuro` dan bulan ini yaitu bulan Ramadhan“. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

c. Hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu secara marfu’, “Puasa yang paling afdhol setelah Ramadhan adalah (puasa) pada bulan Allah Muharram dan sholat yang paling afdhol setelah sholat wajib adalah sholat lail”. (HR. Muslim)

4. Orang yang telah makan sedang dia lupa atau tidak tahu bahwa hari itu adalah hari asyuro, apa yang dia lakukan ?
Masalah ini hukumnya sebagaimana yang dikatakan oleh Imam An-Nawawi dalam Syarh Muslim (8/19), “Bab : Barangsiapa yang sudah makan pada hari ‘Asyuro` maka hendaknya dia menahan (berpuasa) pada sisa harinya”.

Ada dua dalil yang menunjukkan akan hal ini :

a. Hadits Salamah ibnul Akwa’ radhiallahu ‘anhu dia berkata, “Nabi Shollallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan seorang lelaki dari Bani Aslam agar mengumumkan kepada manusia bahwa barangsiapa yang yang sudah makan maka hendaknya dia berpuasa pada sisa harinya dan barangsiapa yang belum makan maka hendaknya dia berpuasa, karena hari ini adalah hari ‘Asyuro`”. (HR.Al- Bukhari dan Muslim)

b. Hadits Ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz radhiallahu ‘anha dia berkata, “Nabi Shollallahu ‘alaihi wasallam mengutus (utusan) kepada desa-desa Anshor pada subuh hari ‘Asyuro` (untuk menyerukan) : “Barangsiapa yang masuk di waktu subuh dalam keadaan berbuka (telah makan) maka hendaknya dia sempurnakan sisa harinya (dengan berpuasa) dan barangsiapa yang masuk di waktu subuh dalam keadaan berpuasa maka hendaknya dia berpuasa”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

5. Kapankah Hari ‘Asyuro` Itu?
Terdapat perselisihan pendapat di kalangan ulama dalam masalah penentuannya, dan pendapat yang paling kuat adalah bahwa hari asyura itu jatuh pada tanggal 10 Muharram. Ini adalah pendapat Said ibnul Musayyab, Al-Hasan Al-Bashri, Imam Malik, Imam Ahmad, Ishaq bin Rahawaih dan ini merupakan pendapat jamahir (mayoritas) ulama terdahulu dan belakangan.

Hal ini berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma dia berkata, “Tatkala Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam berpuasa pada hari ‘Asyuro` dan beliau memerintahkan (manusia) untuk berpuasa, mereka berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashrani”, maka Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda : “Jika tahun depan (saya masih hidup) insya Allah, maka kita akan berpuasa pada hari kesembilan”. (Ibnu ‘Abbas) berkata : Maka tahun depan belum datang sampai Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam wafat”. (HR. Muslim)

Dalam riwayat lain, “Jika saya masih hidup sampai tahun depan maka (Demi Allah) sungguh betul-betul saya akan berpuasa pada hari kesembilan”.

Berkata Imam An-Nawawy rahimahullah dalam Syarh Muslim (8/18), “Maka ini jelas menunjukkan bahwa dulu beliau Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam berpuasa pada tanggal 10 (Muharram) bukan tanggal 9”. Dan ini juga merupakan pendapat yang dikuatkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah.
Hal ini lebih dipertegas oleh perkataan Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, “Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam memerintahkan untuk berpuasa pada hari ‘Asyuro`, hari kesepuluh”. (HR. At-Tirmizi dan dishohihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmizi (1/399 no. 755))

Faedah:
Disunnahkan pula untuk berpuasa pada tanggal 9 Muharram karena Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam berpuasa pada tanggal 10 dan berniat untuk berpuasa pada tanggal 9 tahun depannya sebagaimana dalam hadits Ibnu ‘Abbas di atas, ini adalah pendapat Imam Asy-Syafi’iy, Ahmad, Ishaq dan lain-lainnya. Hal ini juga berdasarkan ucapan Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, “Selisihilah orang-orang Yahudi, berpuasalah pada hari ke 9 dan ke 10”. (Riwayat Abdurrozzaq (4/287) dan Al-Baihaqi (4/287))
 
Keutamaan Puasa Asyura


Puasa Asyura adalah puasa sunnah yang dikerjakan pada tanggal 10 Muharram.
Dari Abu Hurairah -radhiallahu anhu- dia berkata: Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ

“Seutama-utama puasa setelah Ramadlan ialah puasa di bulan Muharram, dan seutama-utama shalat sesudah shalat fardhu, ialah shalat malam.” (HR. Muslim no. 1163)

Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma- dia berkata:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدِمَ الْمَدِينَةَ فَوَجَدَ الْيَهُودَ صِيَامًا يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا هَذَا الْيَوْمُ الَّذِي تَصُومُونَهُ فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ أَنْجَى اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَقَوْمَهُ وَغَرَّقَ فِرْعَوْنَ وَقَوْمَهُ فَصَامَهُ مُوسَى شُكْرًا فَنَحْنُ نَصُومُهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَحْنُ أَحَقُّ وَأَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ فَصَامَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ

“Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- mendatangi kota Madinah, lalu didapatinya orang-orang Yahudi berpuasa di hari ‘Asyura. Maka beliau pun bertanya kepada mereka, “Hari apakah ini, hingga kalian berpuasa?” mereka menjawab, “Hari ini adalah hari yang agung, hari ketika Allah memenangkan Musa dan Kaumnya, dan menenggelamkan Fir’aun serta kaumnya. Karena itu, Musa puasa setiap hari itu untuk menyatakan syukur, maka kami pun melakukannya.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kami lebih berhak dan lebih pantas untuk memuliakan Musa daripada kalian.” kemudian beliau pun berpuasa dan memerintahkan kaum puasa di hari itu. (HR. Al-Bukhari no. 3145, 3649, 4368 dan Muslim no. 1130)

Dari Abu Qatadah Al Anshari -radhiallahu anhu- dia berkata:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ فَقَالَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya mengenai puasa pada hari ‘Asyura`, beliau menjawab: “Ia akan menghapus dosa-dosa sepanjang tahun yang telah berlalu.” (HR. Muslim no. 1162)

Dari Ibnu Abbas -radhiallahu anhuma-, ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَئِنْ بَقِيتُ إِلَى قَابِلٍ لَأَصُومَنَّ التَّاسِعَ

“Seandainya tahun depan aku masih hidup, niscaya saya benar-benar akan berpuasa pada hari ke sembilan (Muharram).” (HR. Muslim no. 1134)

Penjelasan ringkas:
Perintah beliau kepada para sahabat untuk berpuasa 10 muharram menunjukkan puasanya ini hukumnya wajib. Akan tetapi setelah ramadhan diwajibkan, puasa inipun menjadi sunnah, sebagaimana yang diterangkan oleh para ulama.

Hadits Abu Hurairah di atas menunjukkan bahwa puasa muharram merupakan puasa sunnah yang terbaik dan terutama, dan keutamaannya adalah Allah akan mengampuni semua dosa setahun yang lalu. Hanya saja yang dimaksud dengan semua dosa di sini hanyalah dosa-dosa kecil, karena dosa-dosa besar tidak akan diampuni oleh Allah kecuali dengan taubat dan rahmat dari Allah. Berdasarkan hadits Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ
“Shalat lima waktu dan shalat Jum’at ke Jum’at berikutnya, dan Ramadhan ke Ramadlan berikutnya adalah penghapus untuk dosa antara keduanya apabila dia menjauhi dosa besar.” (HR. Muslim no. 342)

Hadits ini termasuk dalil terbesar yang menunjukkan disyariatkannya mukhalafah (berbeda) dengan ahli kitab, karena tatkala orang-orang Yahudi juga berpuasa pada tanggal 10 muharram, Allah Ta’ala melalui lisan Rasul-Nya menurunkan syariat baru berupa berpuasa pada tanggal 9, dan syariat ini diturunkan semata-mata agar puasa kaum muslimin berbeda dengan puasa yahudi. Adapun hadits yang memberikan pilihan untuk berpuasa sehari sebelumnya (tanggal) atau sehari setelahnya (tanggal 11) maka dia adalah hadits yang lemah. Sehingga puasa hanya dilakukan pada tanggal 9 dan 10.
Hadits ini juga menunjukkan bahwa syariat umat sebelum kita bisa menjadi syariat kita jika Nabi -alaihishshalatu wassalam- menyetujuinya.


sumber : http://al-atsariyyah.com/?p=1531

Tidak ada komentar:

Posting Komentar