Rabu, 06 Oktober 2010

Bagaimana Aku Mencapai Jalan Tauhid (Mengikuti Thariqat Naqsabandiyah)

 Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu

Sejak kecil saya selalu mengikuti pelajaran dan halaqoh dzikir di masjid. Suatu ketika, pemimpin tarekat Naksabandiyyah melihatku, lalu ia mengajakku ke pojok masjid dan memberiku wirid-wirid tarekat Naksabandiyyah. Namun, karena usiaku yang masih belia, saya belum mampu membaca wirid-wirid itu sesuai dengan petunjuknya, tetapi saya tetap mengikuti pelajaran mereka bersama teman-teman saya dari pojokan masjid.



Saya mendengar lantunan qasidah dan nyanyian mereka, dan ketika sampai pada penyebutan nama syaikh mereka, dengan serta merta mereka meninggikan dan mengeraskan suara. Teriakan keras di tengah malam ini sangat menggangguku dan membuatku takut dan merinding.


Dan ketika usiaku semakin menajak dewasa, salah seorang kerabat mengajakku ke masjid di daerah kami untuk mengikuti acara yang mereka namakan al-khatam. Kami duduk melingkar, kemudian salah seorang syaikh membagikan kepada kami batu-batu kecil dan berkata:”Al-Fatihah Asy-Syarif dan Al-Ikhlash Asy-Syarif”.


Lalu dengan jumlah batu-batu kecil itu kami membaca surat Al-Fatihah, surat Al-Ikhlash, istighfar dan sholawat dengan bentuk bacaan sholawat yang telah mereka hafal.

Diantara bentuk sholawat yang saya ingat adalah


اللّهُمَ صَلِّ عَلىَ محَُمَّدٍ عَدَدَ الدَّوَابِّ


“Ya Allah, berilah sholawat untuk Muhammad sebanyak binatang melata”


Mereka membaca sholwat ini dengan suara keras di akhir dzikir. Dan selanjutnya, syaikh yang ditugaskan itu menutupnya dengan ucapan rabithah syarifah (ikatan mulia). Mereka mengucapkannya dengan tujuan membayangkan wujud syaikhnya saat menyebut namanya, karena syaikh itulah –menurut mereka- yang mengikat mereka dengan Allah Azza wa Jalla.


Mereka merendahkan suara kemudian berteriak dan terbuai dalam kekhusyu’an, saat itu saya melihat salah seorang diantara mereka melompat ke atas kepala orang-orang yang hadir dari tempat yang tinggi karena kesedihan yang mendalam bagaikan permainan sulap. Saya heran dengan tingkah dan suara yang keras ini ketika menyebut nama syaikh tarekat mereka.


Suatu ketika saya berkunjung ke rumah salah seorang kerabatku dan mendengarkan lantunan nyanyian dari kelompok tarekat Naksabandiyyah, yang berbunyi:


دَلُوْنِيْ بِاللهِ دَلُوْنِيْ # # # # # عَلَى شَيْخِ النَّصْرِ دَلُوْنِي


Tunjuki aku, demi Allah, tunjuki aku
Kepada syaikh penolong, tunjuki aku


اللَّي يُبْرِي العَلِيْلَ ##### وَيَشْفِي المَجْنُوْنَا


Syaikh yang menyembuhkan orang yang sakit
Dan menyembuhkan orang yang gila


Saya berdiri di depan pintu rumah, dan belum sempat masuk ke dalam, lalu berkata kepada tuan rumah:”Apakah syaikh itu yang menyebabkan orang yang sakit dan orang gila?”. Ia menjawab:”Ya, yang telah diberikan Allah Azza wa Jalla mukjizat menghidupkan orang yang mati, menyembuhkan orang yang buta sejak lahir dan orang yang berpenyakit sopak, tetapi ia tetap mengatakan “dengan izin Allah”.


Kemudian ia berkata kepadaku:”Dan syaikh kami juga melakukannya dengan izin Allah”. Lalu saya menyanggahnya:”Tetapi mengapa Anda tadi tidak mengatakannya ‘dengan izin Allah’?”.


Karena penyembuh yang sebenarnya adalah Allah Azza wa Jalla semata, sebagaimana perkataan Ibrohim ‘alaihi salam dalam Al-Qur’an:


{وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ} (80) سورة الشعراء


“Dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku (QS. Asy-Syu’ara: 80).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar